Sabtu, 14 Juli 2012

teori relational dialectics


Relational Dialectics (Leslie Baxter dan Barbara Montgomery)

Disarikan dari E.M. Griffin's A First Look at Communication Theory Fifth Edition

Kedua sarjana komunikasi ini menaruh perhatian lebih pada komunikasi intim yang terjadi dalam hubungan dekat. Mereka menemukan bahwa dalam setiap hubungan percintaan , persahabatan, maupun kekeluargaan, selalu ada konflik antara orang-orang di dalamnya. Karenanya, relational dialectics menitikberatkan kajian pada tekanan, perjuangan, dan kekacauan umum yang terjadi dalam ikatan pribadi dekat.

Dialektika ‘Push-Me-Pull-You’ dalam Hubungan Dekat
Konsep sentral dari relational dialectics adalah kontradiksi. Kontradiksi adalah proses saling mempengaruhi yang dinamis antara oposisi-oposisi yang bersatu. Kontradiksi terbentuk ketika dua kecenderungan atau dua kekuatan yang saling terkait, juga saling meniadakan. Maksudnya dalam hubungan, ikatan terjadi dalam kesalingterkaitan juga kemandirian satu sama lain. Ada daya sentripetal yang mendorong seseorang untuk tetap bersama orang lain. Namun ada pula daya sentrifugal yang mendorong seseorang untuk terpisah dari orang lain.

Tiga Dialektika dalam Hubungan
Tipe Ketegangan Dialektis yang Dilalui Orang-Orang dalam Sebuah Hubungan

Dialektika Internal (di dalam sebuah hubungan)
Connectedness-separateness
Certainty-uncertainty
Openness-closedness

Dialektika Eksternal(antara pasangan dengan komunitas)
Inclusion-seclusion
Conventionality-uniqueness
Revelation-concealment

Connectedness dan Separateness (keterkaitan dan perpisahan)
Menurut Baxter dan Montgomery, ketegangan utama dalam semua hubungan adalah kontradiksi antara keterkaitan dan perpisahan. Setiap hubungan mengandung kontradiksi ini karena di dalam hubungan terdapat individu-individu yang berbeda satu sama lain, dan masing-masing memiliki individualitas masing-masing. Menurut kedua ahli ini, hubungan tidak akan ada kecuali seluruh pihak mengorbankan beberapa otonomi individual. Meskipun demikian, keterkaitan yang terlalu berlebihan justru akan menghancurkan hubungan itu, karena identitas individu-individu di dalamnya, hilang.

 Certainty dan Uncertainty (kepastian dan ketidakpastian)
Teori pengurangan ketidakpastian Berger menyatakan bahwa orang menginginkan prediktabilitas dalam hubungan mereka. Menurut Baxter dan Montgomery, Berger membuat kesalahan dengan mengabaikan keinginan orang untuk menemukan suatu novelty, sesuatu yang baru, kejutan. Orang menginginkan sedikit misteri, spontanitas, ataupun kejutan yang diperlukan untuk bersenang-senang. Tanpa variasi ini, suatu hubungan akan jadi membosankan, rapuh, dan tanpa emosi.Namun tentu saja tidak semua kejutan menyenangkan. Pasangan perlu memiliki ritual dan kebiasaan bersama selama tidak berlebihan. Apalagi tidak semua kejutan disukai oleh kedua belah pihak. Terkadang suatu kejutan yang diharapkan oleh salah satu pihak saja, justru dapat menyebabkan pertengkaran.

 Openness dan Closedness (keterbukaan dan ketertutupan)
Teori penetrasi sosial dari Irwing Altman menyimpukan bahwa self-disclosure dalam suatu hubungan terjadi seperti suatu siklus, seperti tren fesyen dari waktu ke waktu, ada pasang dan surut. Diperjelas oleh Baxter dan Montgomery bahwa suatu hubungan tidak berjalan seperti garis lurus menuju keintiman. Menurut mereka, keterbukaan dan ketertutupan masing-masing pihak dalam suatu hubungan berlangsung seperti fase-fase bulan. Individu-individu, dalam suatu hubungan, tidak selamanya terbuka dan tidak selamanya tertutup terehadap pasangan mereka.

Tiga Dialektika Paralel antara Pasangan dengan Komunitas
Selain ketiga tipe dialektika internal hubungan di atas, pihak-pihak dalam suatu hubungan juga harus menghadapai ketegangan yang munculnya dari luar hubungan-eksternal. Dengan kata lain, ada dialektika-dialektika yang muncul dari komunitas di sekitar suatu hubungan yang mempengaruhi hubungan itu, yaitu:

 Inclusion dan Seclusion (penerimaan dan keterasingan)
Menurut Baxter dan Montgomery, suatu pasangan membutuhkan privasi yang melimpah, sampai terbentuk suatu kode unik makna di antara mereka dan sampai tercapai hubungan yang solid. Dalam budaya Amerika, secara sengaja menampilkan hubungan pada orang luar, artinya mendeklarasikan bahwa mereka adalah pasangan yang menjadi suatu unit sosial. Semakin banyak mereka menampilkan otonomi mereka dalam masyarakat, sebenarnya mereka tengah membangun subudaya yang unik.
Individu-individu dalam suatu hubungan sering memiliki dunia sosial berbeda. Ketika satu pihak berada di tengah dunia sosial pasangannya, ia merasakan keterasingan. Namun ketika mereka mulai saling mengenal dan dunia sosial keduanya tidak banyak berbeda, di situlah individu dalam suatu hubungan merasa diterima.

 Conventionality dan Uniqueness (kebiasaan dan keunikan)
Baxter dan Montgomery melihat bahwa masyarakat telah mencanangkan suatu tradisi atau konvensionalitas dalam melihat pola-pola hubungan terbentuk berulang kali. Keunikan yang berlebihan membuat orang lain merasa tidak nyaman. Namun keunikan dalam suatu hubungan, diperlukan. Tidak ada yang ingin pola hubungannya dengan pasangannya sama persis dengan pasangan-pasangan yang lain.

Misalnya, pria dan wanita menikah kemudian membentuk keluarga, membesarkan anak-anak hingga mereka dewasa, adalah hal konvensional dalam masyarakat. Namun keluarga lain punya keunikan, yaitu salah seorang anak mereka menderita cacat seumur hidup. Karenanya, pasangan ini kemudian membangun sebuah keluarga di mana mereka mampu menghadapi dan membesarkan anak yang cacat. Dan mereka mengajari anak-anak mereka yang lain untuk memaklumi, menghormati dan membantu saudara mereka yang cacat. Mereka punya sub-budaya sendiri.


 Revelation dan Concealment (keterbukaan dan ketersembunyian)
Dalam jaringan sosial, memutuskan apa yang harus diberitahukan kepada masyarakat, adalah dilema yang fundamental. Menurut kedua ahli teori ini, menyebarluaskan sesuatu kepada publik tentang hubungan suatu pasangan, mengantarkan hubungan itu ke dalam bahaya yang potensial. Maksudnya, apabila satu pihak ingin menyebarkan yang ini, sedangkan pihak yang lain tidak setuju, ini bisa menimbulkan masalah dalam hubungan.

Public disclosure memang menunjukkan bahwa hubungan suatu pasangan itu kuat. Namun ada harga yang harus dibayar untuk itu, yaitu kehilangan sebagian privasi. Jelas bukan merupakan jalan keluar dari suatu masalah yang muncul dalam hubungan.

Cara-Cara Praktis Menghadapi Ketegangan Dialektikal
Ada 8 strategi yang bisa mempertahankan suatu hubungan dari kontradiksi-kontradiksi di atas, yaitu:

1. Denial-penyangkalan. Yaitu latihan untuk terus-menerus merespons satu kutub dari dialektika dan mengabaikan yang lain. Misalnya, ada pasanagan yang mengaku bahwa mereka selalu terbuka pada pasangannya dan selalu tahu apa yang diinginkan pasangannya. Namun cara ini, menurut Baxter, menimbulkan ketidakpuasan dalam individu dalam hubungan tentang cara mereka mengatasi masalah otonomi dan keterkaitan dalam hubungan mereka.

2. Disorientation. Yaitu respons yang tidak fungsional, yang muncul dari perasaan kacau balau karena tidak ada pertolongan. Daripada menyangkal kontradiksi yang mereka hadapi, individu-individu dalam hubungan, diliputi kontradiksi itu. Apapun hasilnya, entah bertengkar, dingin, dsb, dialog atau mencoba untuk saling mengerti tentang dilema itu, berhenti.

3. Spiraling Alteration antara kutub-kutub yang kontras. Artinya, memisahkan dorongan dialektika berdasarkan waktu terjadinya. Yang terjadi sekarang, itu yang direspons. Menurut Baxter dan Montgomery, tidakan first-one-then-the-other ini adalah yang paling sering dilakukan oleh pasangan pada paradoks separateness-connection.

4. Segmentation-segmentasi. Yaitu taktik penggolongan di mana individu-individu dalam hubungan mengisolasi aspek-aspek yang berbeda dalam hubungan mereka.

5. Balance-keseimbangan. Yaitu pendekatan kompromi yang mengajukan dialog yang kontinyu, karena individu-individu melihat kedua kutub dialektika berkedudukan sama. Namun yang dipandang baik oleh satu pihak belum tentu dipandang baik oleh pihak lain.

6. Integration-integrasi, menawarkan cara bagi individu-individu untuk bersama-sama merespons pertentangan tanpa angan-angan yang berlebihan.

7. Recalibration-penyesuaian. Yaitu proses menyusun situasi tertentu sementara waktu supaya tarikan atas individu-individu dalam suatu hubungan tidak lagi kelihatan menuju arah yang berlawanan.

8. Reaffirmation-penegasan kembali. Yang melibatakan pengakuan aktif oleh kedua belah pihak bahwa ketegangan dialektika tidak akan pernah hilang. Bukannya meratapi fakta hubungan ini, mereka mengakui dan merayakan kompleksitas dalam hubungan mereka.

Kritik: Apa yang Kita Lakukan dengan Relational Mess?
Banyak sarjana komunikasi yang menganggap teori Baxter dan Montgomery ini adalah teori relational mess. Mereka meragukan apakah relational dialectics bahkan harus dianggap sebuah teori. Apalagi Baxter dan Montgomery menyatakan sendiri bahwa teori ini punya keruwetan struktural dalam hal teori formal prediksi dan penjelasan. Tidak menawarkan susunan hirarkial yang umum yang sifatnya aksiomatik ataupun argumen yang proporsional. 

teori semiotika


TEORI SEMIOTIKA


A. Pengantar
Pemahaman terhadap esensi makna dalam karya sastra tentunya tidak hanya sekedar pemahaman terhadap struktur makna tekstual. Dalam pengertian ini, semiotik memiliki peranan agar esensi yang disampaikan sebuah karya sastra dapat diterima dan dipahami secara menyeluruh oleh pembaca.
Semiotik meskipun didasari pada konvensi tanda bahasa antara pengarang dan pembaca dalam kenyataannya masih diperlukan konvensi yang lain, yaitu konvensi yang ada dalam dunia sastra itu sendiri. Hal ini didasarkan pandangan Culler (dalam Fananie, 2000:143) di antara segala segala sistem tanda, sastralah yang menarik dan kompleks antara lain karena sastra itu sendiri merupakan ekspolarasi dan perenungan terus-menerus mengenai pemberian makna dengan segala bentuknya; penafsiran pengalaman; komentar mengenai keberlakuan berbagai cara menafsirkan pengalaman: peninjauan tentang kekuasaan bahasa yang kreatif; kritik terhadap kode-kode dan proses intepertasi yang terwujud dalam bahasa-bahasa kita kini dan dalam sastra yang mendahului.
Pada makalah ini, akan disajikan sejarah, konsep, penerapan semiotik dalam analisis karya sastra. Ini diharapkan dapat membantu dalam peranan semiotik sebagai sebuah teori dalam karya sastra.
B. Sejarah Perkembangan
Semiotik telah lama dikenal. Dalam Handbook Of Semeotics Karya Winfried Noth, ada beberapa pembagian zaman dalam pengenalan istilah semiotik, yaitu zaman kuno, abad pertengahan, zaman renaissance, dan zaman modern.
Pada zaman kuno ada beberapa ahli semiotika yang dikenal, antara lain Plato (427-347 SM), Aristoteles (384-322 SM), kaum Stoic (300-200 SM), dan kaum Epicureans (300 SM-abad pertama Masehi). Menurut Plato, semiotika adalah tanda-tanda verbal alami atau yang bersifat konvensional di antara masyarakat tertentu, hanyalah berupa representasi tidak sempurna dari sebuah ide, kajian tentang kata-kata tidak mengungkap hakikat objek yang sebenarnya karena dunia gagasan tidak berkaitan erat dari representasinya yang berbentuk kata-kata, dan pengetahuan yang dimediasi oleh tanda-tanda bersifat tidak langsung dan lebih rendaah mutunya dari pengetahuan yang langsung. Semiotika menurut Aristoteles adalah tanda-tanda yang ditulis berupa lambang dari apa yang diucapkan, bunyi yang diucapkan adalah tanda dan lambang dari gambaran atau impresi mental. Gambaran atau impresi mental adalah kemiripan dari objek yang sebenarnya, dan gambaran mental tentang kejadian atau objek sama bagi semua manusia tetapi ujaran tidak.
Pada abad pertengahan, perkembangan filsafat bahasa menuju pada dua arah, yaitu dengan ditentukannya gramatika sebagai pilar pendidikan bahasa Latin serta bahasa Latin sebagai titik pusat seluruh pendidikan ; sistem pemikiran dan pendidikan filosofis pada saat itu sangat akrab dengan Teologi, maka analisis filosofis diungkapkan melalui analisis bahasa. Ciri utama pada zaman abad pertengahan adalah masa keemasannya filusuf Kristiani, terutama Kaum Patristik dan Skolastik. Pendidikan abad pertengahan dibangun dalam tujuh sistem sebagai pilar utamanya dan bersifat liberal.Ketujuh dasar pendidikan liberal tersebut dibedakan atas Trivium (tata bahasa, logika, serta retorik) dan Quadrivium (aritmatika, geometrika, astronomi, dan musik).
Pada masaRenaissance keberadaan teori mengenai tanda tidak mengalami inovasi yang berarti.Hal ini dikarenakan bahwa sebagian besar penelitian mengenai semiotika masih merupakan bagian dari perkembangan linguistik pada masa sebelumnya.
Pada zaman modern, menurut Zoest (1991:1), ada dua tokoh yang dikenal sebagai bapak semiotik modern, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure (1857-1913). Keduanya berlatar belakang berbeda. Peirce adalah ahli filsafat, sedangkan Saussure adalah ahli Linguistik. Ketidaksamaan latar belakang itulah yang menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan penting, terutama dalam penerapan konsep-konsep. Hal itu menjadikan ada dua kubu di kalangan pakar dengan pemahaman serta konsep yang berbeda. Pertama, yang bergabung dengan Peirce dan tidak mengambil contoh dari ilmu bahasa; dan kedua, yang bergabung dengan Saussure dan menganggap ilmu bahasa sebagai pemandu.
Sebetulnya sebelum Pierce dan de Saussure memperkenalkan istilah semiotik, pada akhir abad XVIII seorang filsuf Jerman Lambert telah menggunakan kata semiotika (Zoest, 1993:1). Namun dapatlah dikatakan, bahwa semiotika merupakan cabang ilmu yang relatif muda. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya baru lebih sering dan lebih sistematis dipelajari pada abad XX. Menurut Zoest (1993:1) ada beberapa penyebab yang dapat dikemukakan. Salah satu diantaranya adalah Peirce telah menuliskan pemikirannya dalam bidang semiotika pada akhir abad XIX dan awal abad XX. Baru pada tahun 1930-an Charles Morris dan Max Bense memperkenalkan secara luas tulisan Peirce. Pada saat itu orang sudah menyadari betapa berharganya bahan teoritis tersebut, dan betapa besar kegunaan instrumen pengertian yang dipaparkan dalam tulisan Peirce.
Pierce mengusulkan kata Semiotika sebagai sinonim dari kata logika. Menurutnya Logika harus harus mempelari bagaimana orang yang bernalar. Penalaran itu, menurut hipotesis teori Pierce yang mendasar, dilakukan melalui tanda-tanda. Tanda-tanda memungkinkan kita berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Dengan mengembangkan teori semiotika, Peirce memusatkan perhatiannya pada berfungsinya tanda pada umumnya. Peirce telah menciptakan teori umum untuk tanda-tanda. Secara lebih tepat, ia telah memberikan dasar-dasar yang kuat pada teori tersebut.
Penemuan Saussure tentang semiotik sebetulnya lebih dulu daripada Peirce. Dia dikenal sebagai peletak dasar ilmu bahasa. Salah satu titik tolak Saussure adalah bahwa bahasa harus dipelajari sebagai salah satu sistem tanda. Kubu Saussure menamainya dengan Semiologi, istilah pinjaman dari linguistik. Namun gagasan Saussure untuk sampai pada ilmu tanda umum, baru mendapatkan perhatian beberapa puluhan tahun setelah dikemukakan.
Di Prancis pengaruh Saussurelah yang telah menandai kerja kaum semiotika. Pierce kurang dikenal disana. Beberapa teksnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Namun secara umum, gagasan-gagasan Pierce belum mendapatkan perhatian yang sepantasnya di Prancis. Baru setelah penerbitan Oeuvres Completes dan disebarluaskan oleh Charles Morris, teori semiotika aliran Pierce menjajikan harapan.
Di Eropa suksesnya pemikiran semiotik Pierce terasa secara lebih jelas dan efektif dalam karya Umberto Eco (Italia). Dalam Eco, penggunaan konsep-konsep Pierce untuk penelitian di berbagai bidang, yaitu arsitektur, musik, teater, iklan, kebudayaan, dan lain lain, dikemukakan, didiskusikan, dan dibahas.
Sayang, ketika Saussure memberikan kuliah-kuliahnya yang terkenal tentang linguistik umum, ia belum mengenal studi yang telah ditulis pierce pada masa itu. Tulisan Pierce selama setengah abad akan memberikan pengaruh-pengaruh khas pada perkembangan teori linguistik internasional.
Makalah ini tidak dapat mengisi kekosongan yang telah dikemukakan tadi. Walaupun demikian penulis mencoba untuk melihat beberapa kemungkinan penerapan konsep-konsep Pierce dalam bidang analisis sastra.

C. Kerangka Teori Semiotika
Secara etimologis, istilah semitotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”( Ratna, 2010: 97). Tanda didefinisikan sebagai sesuatu yang atas dasar konvensi sosial terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Yusuf (2009:30) menjelaskan bahwa semiotik mempelajari berbagai objek, peristiwa, atau seluruh kebudayaan sebagai tanda. Senada dengan pernyataan tersebut Pradopo (dalam Sumampouw, 2010:56) menjelaskan bahwa semiotika adalah ilmu tentang tanda. Ilmu ini menganggap fenomena sosial dan kebudayaan sebagai tanda. Semiotika mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda mempunyai arti.
Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat mana pun. Semiotik merupakan cab ang ilmu yang relatif masih baru. Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
Menurut Preminger (1974) (dalam Pradopo, 1999:76) tanda mempunyai dua aspek, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal tanda itu, alam bahasa berupa satuan bunyi, atau huruf dalam sastra tulis. Sedangkan petanda adalah artinya, yaitu apa yang ditandai oleh penada itu .Senjutnya Yusuf menjelaskan tanda adalah sesuatu yang bersifat representative, mewakili sesuatu yang lain berdasarkan konvensi tertentu ( Yusuf, 2009: 30).
Pierce ( 1839-1914 ) seorang filsuf Amerika (dalam Yusuf, 2009: 31) menyebutkan tiga macam tanda dengan jenis hubunganan tanda dan apa yang ditandakan. Tiga macam tanda tersebut adalah
a. Ikon.
Ikon merupakan tanda yang secara inheren memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk. Sumampouw (2010:57) hubungan antara penanda dan petanda dalam ikon merupakan hubungan yang bersifat alamiah. Hubungan tersebut bersifat persamaan. Misalnya saja peta dengan wilayah geografinya.
b. Indeks
Indeks merupakan tanda yang mengandung hubungan kausal ( sebab-akibat) dengan apa yang ditandakan. Contonya mendung menandakan akan terjadinya hujan, asap mendakan adanya api. Contoh lain alat penanda angin menunjukkan arah angin.
c. Simbol
Simbol adalah tanda yang memiliki hubungan makna dengan apa yang ditandakan bersifat manasuka (arbitrer). Contohnya ibu adalah simbol, artinya ditentukan oleh pemakai bahasa (Indonesia), orang Inggris menyebut ibu dengan mother, orang Jawa dengan mbok.
Selain ketiga hal tersebut masih ada lagi jenis tanda yang lain, yaitu tanda yang disebut dengan istilah simtom. Prodopo ( 1999:76) menjelaskan bahwa somtom merupakan jenis tanda yang dapat didefinisikan sebagai gejala, yaitu penanda yang penunjukannya belum pasti. Sebagai contoh suhu panas yang terjadi pada orang sakit tidak menunjuk penyakit tertentu. Suhu tersebut hanya menujukkan bahwa orang tersebut sedang sakit, entah sakit malaria, flu atau yang lain.
Macam-macam Semiotik
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.
Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore). Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambang rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.

Bahasa Sebagai Sistem Semiotik
Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan demikian, karena keberadaan makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan hubungan antar -lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya. Dihubungkan dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah informasi dan dialog antar -diri sendiri. Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1) karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang lainnya, (2) hubungan antarbentuk kebahasaan dengan dunia luar yang di -acunya, (3) hubungan antara kode dengan pemakainya.Studi tentang sistem tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik (Aminuddin, 1988:37).
Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian, maka bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem. Tiga komponen tersebut adalah: (1)sintaktik, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya, (2) semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya, (3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian.
Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi manusia dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal dengan media nonbahasa atau nonverbal. Sementara media kebahasaan itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel dibedakan pula antara media lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud kalimat perintah dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan lewat pemakaian bunyi suprasegmental atau pemunculan kinesik, yakni gerak bagian tubuh yang menuansakan makna tertentu. Kaidah penataan kalimat selalu dilatari tendesi semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah penataan lambang secara gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu bahasa. Pada sisi lain makna sebagai label yang mengacu realitas tertentu juga memiliki sistem hubungannya sendiri (Aminuddin, 1988:38).
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai ( user atau interpreter), menjadi bagian dari sistem semiotik sehi ngga juga menjadi salah satu cabang kajiannya karena keberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari pemakainya. Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya, ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa. Sehubungan dengan itu Abram’s (1981: 171) mengungkapkan bahwa the focus of semiotic interest is on the underlying system of language, not on the parole.

Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada, hampir sebagian besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 - 1913). de Saussure tidak hanya dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901 - 1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 - 1980), Algirdas Greimas (1917 - 1992), Yuri Lotman (1922 - 1993), Christian Metz (193 - 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis Hjlemslev (1899 - 1966) dan Roman Jakobson (1896 - 1982). Dalam ilmu antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 - 1981) dalam psikoanalisis.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh banyak ahli semiotik, hal itu didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure. Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa, Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious, Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure) sebuah fenomena. Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan-hubungan internal bagian-bagian dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang strukturalisme dalam konteks perkembangan kajian budaya harus dilakukan dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang seolah-olah lahir sesudahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam kuliah-kuliah Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotik (oleh de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat) (Hoed, 2002:1). Jadi tidak dapat disangkal lagi bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak dapat dilepaskan dari bayangan strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu pengetahuan budaya. Perkembangan dari strukturalis ke semiotik dapat dibagi dua yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri-ciri strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih menonjolkan kebudayaan sebagai sistem tanda (evolusi).
Makna Kata ‘Tanda’
Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh kata arbor dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/ disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubungan itu adalah mufakat (de Saussure, 1986:10).
Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari kemufakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan ( unreasonable) atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang bunga dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adanya batas-batas (boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan secara gamblang mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda selalu akan lepas dari jangkauan dan konsekuensinya, makna pun tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran paradigmatik maupun sintagmatik. Ini dimungkinkan karena operasi sebuah sistem bahasa menurut de
Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is it, melainkan melalui penemuan akan what is not (Budiman, 2002:30). Kucing adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing. Dengan demikian ilmu yang mempe -lajari tentang tanda-tanda adalah semiotik. Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign. Semiotik adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects. Sementara De Saussure menyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah studi tentang aturan tanda-tandasebagai bagian dari kehidupan sosial ( a science which studies the role of signs as a part of social life). Bagi Peirce (1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa every thought is a sign.
Van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda. Pertama, tanda harus dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk) dari pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang-kerang yang sedemikian rupa sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut menandakan sebuah kota di Republik Bond. Kita menganggap dan menginterpretasikannya sebagai tanda. Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir, kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.
Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’. Keempat, tanda memiliki sifat epresentatif dan sifat ini mempunyai hubungan langsung dengan sifat inter-pretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman, tetapi juga penafsiran di sana duduk-duduk orang Jerman. Kelima, sesuatu hanya dapat merupakan tanda atas dasar satu dan lain. Peirce menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan, perjanjian dan kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi. Semiotik Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95). Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain. Secara terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1).
Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah diwarnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss bernama Ferdinand De DeSaussure (1857 - 1913) dan seorang filsuf Amerika yang bernama Charles Sanders Peirce (1839-1914). Peirce menyebut model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebut-kan di depan bahwa de Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General Linguistics (1913).
Dalam buku itu De Saussure membayangkan suatu ilmu yang mempelajari tanda-tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelaskan konsep-konsep yang dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a thing and a name,but a concept and a sound image a sign . Kombinasi antara konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign). Jadi de Saussure mem-bagi tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified (atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (de Saussure, 1988:26). Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat berperan sebagai model untuk se-miologi. Penyebabnya terletak pada ciri arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain-lainya.
Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 - 1914). Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan de Saussure yang lebih programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih lazim dalam dunia Anglo-Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental. Siapakah Peirce? Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika yang paling orisinal dan multidimensioanl. Bagi teman -teman sejamannya ia terlalu orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam kemiskin-an Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman -temannya.
Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya. Baru pada tahun 1931 - 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang dikerjakan oleh Arthur W Burks. Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce.
Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan bahwa manusia berpikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.
Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali (Hoed, 2002:21). Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain ( something that represent something else). Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu representamen (R) - Object (O) - Interpretant (I). R adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili olehnya (O). Kemudian I adalah bagian dari proses yang menafsirkan hubungan antara R dan O. Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga interpretattif. Teori Peirce tentang tanda memperlihatkan pemaknaan tanda seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa Peirce membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang dicontohkan Hoed (2002:25), apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O).
Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebuah pabrik ban mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang membuatnya merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjutnya adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya (I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O menunjukkan identitas.Akhirnya apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu’ (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional.
Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap-tahap. Ada tahap
kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa menunjuk ke sesuatu yang lain, keberadaan dari kemungkinan yang potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda dimaknai secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sama pada semua anggota kebudayaan tersebut.
Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah Roland Barthes (1915 - 1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang karya-karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian. Bagi Barthes kompone -komponen tanda penanda - petanda terdapat juga pada tanda -tanda bukan bahasa antara lain terdapat pada bentuk mite yakni keseluruhan sistem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk mempertahankan dan menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988).
Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan sebagai (aspek emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi. Model Barthes demikian juga model De de Saussure tidak hanya diterapkan pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan, tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan. Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri pada analisis secara semios is, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti ’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993:4).
Penelitian yang menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu reduksionalis, diganti oleh penelitian yang disebut praktek arti ( betekenis praktijk). Para ahli semiotika jenis ini tanpa merasa keliru dalam bidang metodologi, mencampurkan analisis mereka dengan pengertian-pengertian dari dua aliran hermeutika yang sukses zaman itu, yakni psikoanalisis dan marxisme (van Zoest, 1993:5).Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture is constructed as a hierarchy of semantic systems (Lotman, 1971:61). Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena hirarki sistem semiotik atau sistem tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam konteks sosial maupun situasional, (2) manusia sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai dunia simbolik yang menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4) dunia pragmatik atau pemakaian, (5) wilayah makna. Orientasi kebudayaan manusia sebagai anggota suatu masyarakat bahasa salah satunya tercermin dalam sistem kebahasaan maupun sistem kode yang digunakannya.
Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode dan pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam komunikasi antaranggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam kegiatan komunikasinya, misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, pastilah dilakukan identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak terbatas pada tanda kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa bunyi prosodi, kinesik, maupun konteks komunikasi itu sendiri.
Dengan adanya identifikasi tersebut komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik bagi penutur maupun bagi penanggapnya.

Daftar Pustaka

Aminuddin. 2009. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Abrams, M.H., 1981.A Glosary of Literary Term.New York: Holt, Rinehart and Wiston.

Budiman, Manneke. 2002 “Indonesia: Perang Tanda,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak Jakarta:Wedatama Widya Sastra.

De de Saussure, F. 1988. Course in General Linguistics.Yogyakarta: Gajah Mada University Press, Hoed, Benny H. 2002.“Strukturalisme, Pragmatik dan Semiotik dalam Kajian Budaya,” dalam Indonesia: Tanda yang Retak .Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Nasutiaon, Ikhwanuddin. 2008. “Sistem dan Kode Semiotika dalam Sastra: Suatu Proses Komunikasi”dalam Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra Universitas Sumatra Utara Vol No 2 Oktober 2008.

Pateda, Mansoer, Semantik Leksikal.Jakarta: Rineka Cipta.

Pradopo, Joko Rahmad. 1999. “Semiotika: Teori, Metode, dan Penerapannya dalam Pemaknaan Sastra” dalam Humaniora No 10 Januari-April 1999.

Ratna, Nyoman Kuta. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ratna, Nyoman Ketut. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Poststruktutralime, Perpektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Samampouw, Marleen.M.A. 2010. “Dongeng LaBella Au Bios Dormant: Suatu Kajian Semiotik” dalam BAHTRA, Jurnal Bahasa dan SastraVol II No 5 Juli 2010.

Sobur, Alex. , 2004.Analisis Teks Media. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Teew, A. 1984. Khasanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Van Zoest, Aart.1993.Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita Lakukan Dengannya .Jakarta: Yayasan Sumber Agung

teori social judgement


SOCIAL JUDGEMENT THEORY
Teori penilaian sosial atau Social Cognitive Theory merupakan teori ilmiah yang dikemukakan pertama kali oleh Muzafer Sherif dan Carl Hovland pada tahun 1961. Secara epistemologis, terdapat satu interpretasi umum atas teori ini yakni dalam hal orang selalu menilai pesan-pesan yang mereka terima. Sedangkan secara ontologis, teori ini bersifat deterministik, di mana perilaku seseorang bisa diprediksi. Sedangkan secara aksiologis teori ini bersifat netral nilai, artinya proposisi-proposisinya bersifat objektif, tidak bias.
TArising out of the socio-psychological tradition, SJT is a theory that focuses on the internal processes of an individual’s judgment with relation to a communicated message.TTtTTtthgl66teori ini berfokus pada proses internal dari seorang individu dalam menilai pesan yang dikomunikasikan.SJT was intended to be an explanatory method designed to detail when persuasive messages are most likely to succeed. Attitude change is the fundamental objective of persuasive communication..SJT seeks to specify the conditions under which this change takes place and predict the direction and extent of the attitude change. Teori penilaian sosial berusaha untuk menentukan kondisi di mana perubahan ini berlangsung dan memprediksi arah serta seberapa besar perubahan sikap, mengingat perubahan sikap dasar adalah tujuan komunikasi persuasif.In sum, the researchers strove to develop a theory that addressed the following: a person’s likelihood to change his/her position, the likely direction of his/her attitude change, a person’s tolerance of other positions, and the level of commitment to his/her own position. Para peneliti berusaha untuk mengembangkan teori berikut ini: kemungkinan seseorang untuk mengganti posisinya, kemungkinan perubahan sikap, toleransi dari orang lain, dan tingkat komitmen pribadi.(Sherif, Sherif, & Nebergall, 1965). (Sheriff, Sheriff, & Nebergall, 1965).The SJT researchers claimed that expectations regarding attitude change could be based on the message receiver’s level of involvement, the structure of the stimulus (ie, how many alternatives it allows), and the value (credibility) of the source. Dalam teori penilaian sosial dinyatakan juga bahwa perubahan sikap terhadap keinginan dapat didasarkan pada tingkat keterlibatan penerima pesan, struktur rangsangan (yakni berapa banyak kemungkinkan alternatif), dan nilai (kredibilitas) dari sumber pesan..
Perkembangan Social judgment theory
SJT arose from social psychology and was based on laboratory findings resulting from experiments. Social judgment theory muncul dari ilmu psikologi sosial dan berdasarkan dari hasil penelitian.These experiments studied the mental assessment of physical objects, referred to at the time as psychophysical research. Penelitian ini mencoba mempelajari penilaian mental secara fisik atau benda, disebut juga sebagai penelitian psikopsikal.Subjects were asked to compare some aspect of an object, such as weight or color, to another, differing object. Subjek diminta untuk membandingkan beberapa aspek dari sebuah objek, seperti berat atau warna, dan obyek lain yang berbeda-beda.The researchers discovered that when a standard was provided for comparison, the participants categorized the objects relative to the aspects of the standard. Para peneliti menemukan bahwa ketika standar digunakan sebagai perbandingan, para peserta kategori obyek bersikap relatif terhadap aspek standar.For example, if a very heavy object was used as the standard in assessing weight, then the other objects would be judged to be relatively lighter than if a very light object was used as the standard. Misalnya, jika objek yang sangat berat yang digunakan sebagai standar dalam menilai berat, maka objek lainnya akan dinilai relatif lebih ringan daripada jika objek yang sangat ringan digunakan sebagai standar.The standard is referred to as an "anchor".This work involving physical objects was applied to psychosocial work, in which a participant’s limits of acceptability on social issues are studied (Sherif & Hovland, 1961; Sherif et al., 1965). Penelitian terhadap objek ini diterapkan untuk penelitian psikososial, dimana batas masalah-masalah sosial salah satu peserta dipelajari termasuk isu-isu sosial seperti agama dan politik (Sheriff & Hovland, 1961; Sheriff et al., 1965)Social issues include areas such as religion and politics..
Proses dan sikap penilaian
Proses dan perbandingan penilaian ditemukan dalam perubahan sikap, walaupun sebab munculnya penilaian sifat pada proses perubahan sikap yang sulit ditentukan (Kiesler, Collins, & Miller, 1969).A judgment occurs when a person compares at least two stimuli and makes a choice about them. Penilaian terjadi bila orang membandingkan sekurang-kurangnya dua stimuli dan membuat pilihan tentang mereka.With regard to social stimuli specifically, judgment processes incorporate both past experiences and present circumstances (Sherif, 1963). Berkenaan dengan stimuli sosial secara khusus, proses pertimbangan menggabungkan kedua pengalaman masa lalu dan keadaan sekarang (Sheriff, 1963).Sherif et al. Peneliti harus mengambil keputusan dari perilaku sikap baik yang dapat diatur atau terjadi secara alami-stimuli.True attitudes are fundamental to self-identity, are complex, and thus can be difficult to change. Perilaku diri yang mendasar umumnya sangat kompleks, sehingga sulit untuk dapat berubah. (Nebergall, 1966; Sheriff & Hovland, 1961; Sheriff et al., 1965)
One of the ways in which the SJT developers observed attitudes was through the Own Categories Questionnaire.Salah satu cara untuk mengamati sikap yakni melalui Kuisioner Kategori Pribadi. This method requires research participants to place statements into piles of most acceptable, most offensive, neutral, and so on, in order for researchers to infer their attitudes. Metode ini memerlukan penelitian peserta dengan kategori setuju, tidak setuju, netral, dan sebagainya, dimana peneliti mengambil kesimpulan dari sikap pilihan mereka. This categorization, an observable judgment process, was seen by Sherif and Hovland (1961) as a major component of attitude formation. Dari kategorisasi tersebut, tampak sebuah proses pengadilan, yang dilihat oleh Sheriff dan Hovland (1961) sebagai komponen utama pembentukan sikap.As a judgment process, categorization and attitude formation are a product of recurring instances so that past experiences influence decisions regarding aspects of the current situation. Sebagai suatu proses penilaian, kategorisasi dan sikap formasi adalah produk berulang sebagai contoh pengalaman masa lalu, yang mempengaruhi keputusan terhadap aspek situasi saat ini, yang memunculkan sikap. Experience, knowledge, and emotion dictate these choices.Pengalaman, pengetahuan, dan ego untuk menentukan pilihan. (Sheriff et al., 1965)
Kesetaraan penolakan, penerimaan, dan ketidakberpihakan
All social attitudes are not cumulative, especially regarding issues where the attitude is extreme (Sherif et al., 1965).Semua sikap sosial tidak bersifat kumulatif, terutama hal-hal yang ekstrim sikapnya (Sheriff et al., 1965).This means that a person may not agree with less extreme stands relative to his/her position, even though they may be in the same direction. Ini berarti bahwa orang mungkin tidak setuju dengan keberadaan orang lain yang lebih ekstrim, walaupun mereka berada pada arah yang sama.Furthermore, even though two people may seem to hold identical attitudes, their “most preferred” and “least preferred” alternatives may differ. meskipun dua orang memiliki kemungkinan sikap yang sangat mirip satu sama lain, tetap ada kemungkinan berbeda.Thus, a person’s full attitude can only be understood in terms of what other positions he/she finds acceptable (or not) in addition to his/her own stand (Nebergall, 1966). Oleh karena itu, sikap seseorang hanya dapat dipahami dalam hal apa dia dapat atau tidak menentukan pilihan (Nebergall, 1966). This continuum illustrates a crucial point of SJT, referred to as the "latitudes of acceptance, rejection, and noncommitment". These degrees or latitudes together create the full spectrum of an individual’s attitude.Dalam tingkataDDalam tingkat atau kesetaraan menciptakan spektrum kesetaraan penuh dari sikap seorang individu.Sherif and Hovland (1961) define the latitude of acceptance “as the range of positions on an issue…an individual considers acceptable to him (including the one ‘most acceptable’ to him)” (p. 129). Sheriff dan Hovland (1961) menetapkan penerimaan kesejajaran "sebagai rentang posisi dalam suatu hal ... individu mempertimbangkan dirinya kembali (termasuk hal yang paling dapat diterimanya)" (hal 129). On the opposite of the continuum lies the latitude of rejection. Pada berlawanan dari kontinum terletak di lintang dari penolakan. This is defined as including the “positions he finds objectionable (including the one ‘most objectionable’ to him”) (Sherif & Hovland, 1961, p. 129). Hal ini termasuk yang didefinisikan sebagai "posisi nyaman (termasuk hal yang paling menyenangkan orang tersebut) (Sheriff & Hovland, 1961, hal 129). This latitude of rejection was deemed essential by the SJT developers in determining an individual’s level of involvement and thus his/her propensity to attitude change. Kesetaraan dari penolakan ini dianggap penting oleh peneliti dalam menentukan tingkat keterlibatan sehingga seseorang memiliki kecenderungan untuk mengubah sikap.The greater the rejection latitude, the more involved the individual is in the issue and thus is harder to persuade. Semakin besar penolakan kesetaraan, semakin banyak orang yang terlibat dalam masalah sehingga lebih sulit untuk meyakinkan.In the middle of these opposites lies the latitude of noncommitment, a range of viewpoints where one feels primarily indifferent. Di tengah pertentangan terletak kesetaraan dari ketidakberpihakkan, suatu pandang dimana tidak ada satu pun merasa berbeda.
These latitudes dictate the likelihood of assimilation and contrast. Persamaan dan perbedaan
Ketika pandangan yang berbeda dinyatakan dalam pesan komunikasi, bila disampaikan pada orang kesetaraan penerimaan, pesan tersebut akan lebih mungkin untuk diasimilasikan atau dipandangan sendiri.When the message is perceived as being very different from one’s anchor and thus falling within the latitude of rejection, persuasion is unlikely due to a contrast effect. Bila pesan dianggap berbeda dari oleh orang lain maka terdapat penolakan, kepercayaan tidaklah mungkin karena adanya efek kontras.The contrast effect is what happens when the message is viewed as being further away than it actually is from the anchor. Efek yang kontras dengan apa yang terjadi bila pesan yang dilihat sebagai jauh dari yang sebenarnya. Messages falling within the latitude of noncommitment, however, are the ones most likely to achieve the desired attitude change.Pesan yang jatuh di rentang dari ketidakberpihakkan Namun, adalah salah satu yang paling mungkin untuk mencapai perubahan sikap yang diinginkan.Therefore, the more extreme stand an individual has, the greater his/her latitude of rejection and thus the harder he/she is to persuade. Oleh karena itu, lebih ekstrim telah berdiri seorang individu, semakin besar seseorang melakukan pertentangan sehingga seseorang adalah untuk meyakinkan.
[ edit ] Ego-involvementKKkKeterlibatan - ego
It was speculated by the SJT researchers that extreme stands, and thus wide latitudes of rejection, were a result of high ego-involvement. Ada pendapat ahli bahwa semakin kuat seseorang melakukan penolakan akan menciptakan keterlibatan-ego tinggi.According to the 1961 Sherif and Hovland work, the level of ego-involvement depends upon whether the issue “arouses an intense attitude or, rather, whether the individual can regard the issue with some detachment as primarily a ‘factual’ matter” (p. 191). Menurut Sheriff 1961 dan Hovland kerja, tingkat keterlibatan-ego tergantung pada apakah masalah "perkembangan sikap yang kuat, atau sebaliknya, apakah individu dapat memperhatikan masalah dengan beberapa detasemen terutama sebagai sebuah 'faktual' masalah" (hal. 191). Religion, politics, and family are examples of issues that typically result in highly involved attitudes; they contribute to one’s self-identity (Sherif et al., 1965). Agama, politik, dan keluarga adalah contoh dari hal-hal yang biasanya hasilnya sangat terlibat dalam sikap mereka berkontribusi ke salah satu dari identitas diri (Sheriff et al., 1965).
The concept of involvement is the crux of SJT. Konsep keterlibatan adalah pokok dari social judgment theory. In short, Sherif et al. Sheriff et al. (1965) speculated that individuals who are highly involved in an issue are more likely to evaluate all possible positions, therefore resulting in an extremely limited or nonexistent latitude of noncommitment. (1965) berpendapat bahwa orang-orang yang sangat terlibat dalam masalah lebih mungkin untuk mengevaluasi semua kemungkinan posisi, sehingga mengakibatkan yang sangat terbatasnya atau tidak terdapat suatu rentang dari ketidakberpihakkan.High involvement also means that individuals will have a more restricted latitude of acceptance. Keterlibatan dalam tingkat tinggi juga berarti bahwa akan ada orang yang lebih dibatasi oleh penerimaan.Because discrepant positions are less tolerable when a person is highly involved, more messages will fall into the latitude of rejection, which under this condition is wider. Karena posisi tidak dapat berkurang bila orang sangat terlibat, pesan akan jatuh ke dalam dari penolakan, yang di bawah ini adalah kondisi yang lebih luas. According to SJT, messages falling within the latitude of rejection are unlikely to successfully persuade. Menurut teori penilaian social ini, pesan yang ditolak tidak mungkin berhasil meyakinkan.Therefore, highly involved individuals will be harder to persuade per SJT (Sherif & Hovland, 1961; Sherif et al., 1965). (Sheriff & Hovland, 1961; Sheriff et al., 1965).
Kritik
Teori ini menyatakan bahwa ada dua langkah proses kepercayaan:
melibatkan individu mendengar atau membaca pesan dan segera mengevaluasi dimana pesan berada dalam posisi mereka saat itu,
melibatkan individu tertentu menyesuaikan sikap mereka terhadap salah satu pihak atau menolak pesan yang didengar keduanya.
Kiesler, CA, Collins, BE, & Miller, N. (1969). Attitude change: A critical analysis of theoretical approaches . Kesimpulan
Teori ini menjelaskan tentang suatu pesan atau pernyataan diterima atau ditolak itu didasarkan atas peta kognitif kita sendiri terhadap pesan tersebut.
Seseorang menerima atau menolak suatu pernyataan atau pesan-pesan tertentu, bergantung kepada keterlibatan egonya sendiri. Ketika orang menerima pesan, baik verbal ataupun nonverbal, mereka dengan segera men-judge (memperkirakan, menilai) di mana pesan harus ditempatkan dalam bagian otaknya dengan cara membandingkannya dengan pesan-pesan yang diterimanya selama ini.
Teori ini juga menjelaskan tentang bagaimana individu menilai pesan-pesan yang mereka terima. Ia juga mampu memprediksi bahwa seseorang menerima atau menolak terhadap pesan-pesan yang masuk. Selain itu teori ini juga melahirkan hipotesis-hipotesis baru dan memperluas rentangan pengetahuan seseorang, termasuk kita ketika sedang menerima pesan-pesan, dan juga memiliki kekuatan terorganisir melalui pengorganisasian pengetahuan yang ada di dalam otak kita mengenai suatu sikap.
Referensi:
Communication Capstone. 2001. Theory workbook. Avalilable at: http:/www.uky.edu/~drlane/capstone/persuasion/

teori uncertainty reduction (pengurangan ketidakpastian)


Teori Komunikasi Uncertainty Reduction Theory

Pengertian
Uncertainty reduction theory atau teori pengurangan ketidakpastian, terkadang juga disebut Initial interction theory. Teori ini diciptakan oleh Charles Berger dan Richard Calabrese pada tahun 1975. Tujuan mereka dalam mengkonstruksikan teori ini adalah untuk menjelaskan bagaimana komunikasi digunakan untuk mengurangi ketidakpastianantara orang asing yang terikat dalam percakapan mereka bersama.
Berger dan Calabrese yakin bahwa ketika orang -orang asing pertama kali bertemu, mereka mula-mula meningkatkan kemampuan untuk bisa memprediksi dalam usaha untuk mengeluarkan perasaan dari pengalaman komunikasi mereka. Prediksi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk forecast pilihan perilaku yang mungkin bisa dipilih dari kemungkinan pilihan yang tersedia bagi diri sendiri atau bagi partner relasi. Explanation (keterangan) digunakan untuk menafsirkan makna dari perbuatan masa lalu dari sebuah hubungan. Prediksi dan explanation merupakan dua konsep awal dari dua subproses utama pengurangan ketidakpastian (uncertainty reduction).
Versi umum dari teori ini menyatakan bahwa ada dua tipe dari ketidakpastian dalam perjumpaan pertama yaitu: Cognitive dan behavioral.
  • Cognitive uncertainty merupakan tingkatan ketidakpastian yang diasosiasikan dengan keyakinan dan sikap.
  • Behavioral uncertainty, dilain pihak berkenaan dengan luasnya perilaku yang dapat diprediksikan dalam situasi yang diberikan.
Selanjutnya Berger dan Calabrese (1975) berpendapat bahwa uncertainty reduction memiliki proses yang proaktif dan retroaktif. Uncertainty reduction yang proaktif yaitu ketiaka seseorang berpikir tentang pilihan komunikasi sebelum benar-benar terikat dengan orang lain. Uncertainty reduction yang retroaktif terdiri dari usaha-usaha untuk menerangkan perilaku setelah pertemuan itu sendiri.
Berger dan Calabrese menyatakan bahwa ketidakpastian dihubungkan dengan tujuh konsep lainnya yang berakar pada komunikasi dan perkembangan hubungan. Tujuh konsep itu adalah: verbal output, nonverbal warmth (seperti misalnya nada bicara yang menyenangkan), pencarian informasi (menanyakan pertanyaan), self-disclosure (menyampaikan bagian dari informasi tentang diri sendiri pada orang lain), reciprocity (pertukaran) disclosure, persamaan, dan kegemaran.
Dari aksioma dan teorema URT ditempatkan sebagai pergerakan dinamis dari hubungan antar pribadi dalam initial stage nya.

Assumption of Uncertainty Reduction Theory
Seperti yang sudah disebutkan di bagian sebelumnya, Uncertainty Reduction Theory tidak ada pengecualian. Teori ini meliputi 7 asumsi:
  1. orang – orang tidak berpengalamn dalam mengatur interpersonal
  2. ketidak pastian adalah keengganan, dari pengamatan menghasilkan stress
  3. ketika bertemu orang asing, pertama mengenai pengurangan ketidakpastian atau menambah kemampuan memprediksikan
  4. komunikasi interpersonal adalah proses perkembangan yang terus terjadi
  5. komunikasi interpersonal, pertama bermakna pengurangan ketidakpastian
  6. tabiat dan banyaknya informasi yang orang-orang bagi berubah sepanjang waktu
  7. memprediksikan tingkah laku dalam bentuk undang-undang
Asumsi pertama menjelaskan, dalam mengatur interpersonal orang merasakan ketidakpastian karena adanya perbedaan harapan,memunculkan interpersonal,itu alasan untuk mengakhiri ketidakpastian atau setiap kegelisahan bertemu dengan orang lain.
Asumsi yang kedua mengusulkan bahwa ketidakpastian adalh sebuah tingkatan keengganan. Dengan kata lain, itu membawa persetujuan yang baik dari emosi dan energi psikologi untuk ketidakpastian. Orang-orang yang dalam kerja barunya mengalami stress dengan sekitarnya.
Asumsi ketiga ini menjelaskan kemajuan usul ketika bertemu dengan orang lain. Ini dibagi menjadi 2 hal yaitu:
  1. pengurangan ketidakpastian
  2. penambahan prediksi
Asumsi yang keempat mengusulkan bahwa komunikasi interpersonal adalah proses keterlibatan tingkat perkembangan sesuai dengan Berger dan Calabrese lazimnya percakapan, dimulai dari interaksi orang-orang dalam sebuah tingkat pemasukan, pembatasan dimulai dari tingkat interaksi diantara orang asing.
Asumsi ke-5 dari komunikasi interpersonal yang pertama adalah makana dari pengurangan ketidakpastian, karena di sini komunikasi interpersonal diidentifikasikan fokus pada URT. Asumsi ini datang dari kejutan. URT digambarkan datang dari konteks interpersonal didiskusukan,disini kita mencatat komunikasi interpersonal sebelum terkondisi-mendengarkan,memahami-respon no verbal dan – mengungkapkan kedalam bahasa.
Asumsi keenam ini fokus pada fakta komunikasi interpersonal yang berkembang. URT mempercayai interaksi bermula dari kunci elemen di proses pengembangan.
Asumsi terakhir ini menunjukan tinhgkah laku orang-orang dapat mempridiksi sebuah penampilan. Melihat perbedaan dari prompt theory digunakan untuk ontologies yang berbeda,epistomologi dan axiologies.Untuk menjelaskan tingkah laku komunikasi. Sebaliknya law theories disusun untuk memindahkan dari statements yang berupa prasangka untuk dibenarkan ke statements yang berasal dari kebenaran yang berlaku umum.
Axioms of Reduction Theory
Uncertainty Reduction Theory adalah teori yang dianggap paling benar. Berger dan Calabrese memulai pengertian dengan pengambilan dari suatu kebenaran (axiom) atau kebenaran mutlak menarik dari penelitian masa lalu dan pengertian yang biasa. Axiom ini atau beberapa peneliti membuat pernyataan, bahwa tidak memerlukan lebih lanjut bukti-bukti daripada pernyataan itu sendiri. Berger dan Calabrese memperhitungkan pemikiran axiomatic ini dari peneliti yang pertama (Blalock,1969) yang diakhiri dengan sebab-musabab hubungan persahabatan pada keadaan seharusnya dibentuk dari Axiom. Axiom merupakan jantung dari sebuah teori. Mereka diterima benar karena mereka membangun blok atau penghalang untuk segala sesuatu yang lainnya dalam teori. Tiap Axiom atau kebenaran menunjukan hubungan persahabatan diantaara keraguan (pusat dari konsep teori) dan satu konsep lainnya. URT bermula pada tujuh kedudukan axiom.
Axiom 1
Menyampaikan tingkat tinggi dari memberikan keraguan/Uncertainty pada serangan fase awal sebagai jumlah dari komunikasi verbal diantara pertambahan orang baru level dari Uncertainty untuk setiap interaksi yang ada dalam pengurangan hubungan persahabatan. Lebih lanjtu akan dikurangi jumlah dari kenaikan komunikasi verbal. Ini menyatakan kebalikan atau hubungan negative diantara uncertainty dengan komunikasi verbal.
Keadaan Malcolm dan Edies dengan adanya referensi untuk axiom itu, Teori itu memeliharanya jika mereka berbicara banyak ke yang lainnya, mereka akan lebih pasti kepada yang lainnya.. Lebih lanjut mereka menjadi tahu kebaikan lainnya , mereka akan bicara banyak kepada yang lainnya.
Axiom 2
Seperti pertambahan nonverbal affiliative expressiveness, pengurangan tingkat keraguan merupakan awal pada keadaan interaksi. Penambahan, pengurangan dalam tingkat keraguan akan menyebabkan pertambahan dalam nonverbal affiliative expressiveness. Itu merupakan hubungan negative lainnya.
Axiom 3
Tingkat axiom dari keraguan menyebabkan pertambahan dalam mencari informasi tingkah laku. Tingkat Uncertaity menurun, Mengurangi informasi tingkah laku. Axiom ini meletakkan 4 positive hubungan diantara dua konsep.
Yang mana Axiom ini akaan kita bicarakan belakangan, satu dari banyak kesimpulan dihubungkan dengan URT. Itu memberi kesan Edie akan bertanya dan mencari cara lain menggunakan information-seking seperti dia merasa keraguan tentang Malcolm. Lebih yakin lagi dia merasa kekurangan information-seeking maka dia akan melakukannya. Hal yang sama akan dilakukan kepada malcolm
Axiom 4
Tingkat level dari uncertainty di dalam hubungan menyebabkan pengurangan dalam tingkat keakraban dari communication content. Tingkat rendah dari Uncertainty menghasilkan tingkat kekaraban yang tinggi. Axiom ini mengambil sikap hubungan negative diantara keraguan dan level dari keakraban.
Karena uncertainty relatif tinggi diantara Edie dan Malcolm, mereka menjanjikan dalam pembicaraan kecil dengan tidak penyingkapan sendiri. Keakraban dari komunikasi mereka itu rendah dan tingkat keraguannya tinggi. Axiom keempat ini menyatakan bahwa jika mereka melanjutkan untuk mengurangi keraguan dalam hubungan persahabatan mereka.lalu komunikasi mereka akan terdiri dari tingkat keraban yang tinggi. Catatan Berger, bagaimanapun selama proses self-discloser, interaksi harus membebani kejujuran dari penyingkapan. Apa memungkinkan bahwa individu menurunkan dugaan informasi, Berakhir positif atau berakir negatif? Sungguh tambahan beban mungkin menjadi permasalahan untuk kedua orang dalam sebuah pertemuan.
Axiom 5
Tingkat Uncertainty menghasilkan laju tinggi dari hubungan timbal balik. Tingkat rendah dari uncertainty menghasilkan tingkat rendah dari hubungan timbal balik. Hubungan persahabatan positie diutamakan disini.
Sesuai URT, seperti Edie dan Mlacolm tetap tidak yakin tentang yang lainnya, mereka akan cenderung bercermin kepada tingkah laku yang lainnya. Reciprocity/hubungan timbal balik memberi kesan bahwa jika satu memberikan rincian kecil perorangan, yang lainnya mungkin baik. Sesudah Edie membagi bahwa dia menghilangkan di dalam kelasnya dan dia adalah seorang insinyur dewasa, Malcolm mengungkapkan itu kedewasaan baginya dan bahwa dia mungkin akan memiliki kendala dalam kelas insinyur. Langsung membalas budi orang adalah tanda awal dari pertemuan. Banyak orang berbicara kepada yang lainnya dan membangun hubungan mereka, Banyak dari mereka percaya bahwa hubungan timbal balik akan membentuk beberapa poin. Jika saya tidak memberitahukan suatu benda dari cerminan komunikasimu hari ini. Saya mungkin akan melakukannya lain waktu. Bagian itu dalam pikiran, Pertukaran sempurna menggantikan keseluruhan dari hubungan timbal balik dari suatu hubungan persahabatan.
Axiom 6
Persamaan diantara orang yang mengurangi uncertainty, dengan perbedaan menambahkan uncertainty. Axiom ini menyatakan hubungan persahabatan negative.
Karena Edie dan Malcolm, keduanya merupakan murid di Urban University, mereka mungkin mempunyai persamaan untuk mengurangi beberapa uncertainty mereka tentang yang lainnya. Meraka punya perbedaan ji\enis kelamin dan punya perbedaaan kedewasan yang mungkin menyebabkan tingkat uncertainty mereka.
Axiom 7
Kenaikan dalam tingkat Uncertainty menghasilkan pengurangan dalam kegemaran mengurangi uncertainty menghasilkan kegemaran. Hubungan negative lainnya diletakkan dalam axiom ini.
Seperti Adie dan Malcolm yang mengurangi uncertaity mereka, tipe mereka akan menaikkan kegemaran mereka kepada yang lainnya. Jika mereka melanjutkan rasa uncertainty yang tinggi kepada yang lain, permasalahan mereka tidak akan seperti yang lainnya.
Axiom ini didapat dari beberapa indirect empirical support. Dalam pembelajaran menguji hubungan persahabatan di antara communication satisfaction dan uncertainty production, James Neulip dan Erika Grohskop menemukan bahwa partisipan pewawancara dalam peran permainan organisasi pekerjaan peminta.
Seperti pada ke tujuh axiom, kamu dapat merasakan sifat dari URT. Berdasarkan axiom ini, Berger dan Calabrese memberikan nomor dari Theorems (generalisasi yang dibuktikan untuk memperoleh pembenaran), atau pernyataan teoritikal. Teori Axiom menggabungkan sepasang Axiom untuk mengahsilkan theorem. Mengikuti proses logika deduktif: Jika A diceritakan pada B dan B diceritakan pada C, kemudian A diceritakan oleh C
Berger dan Calabrese menggabungkan tujuh axiom dalam setiap kemungkinan pasangan untuk mendapat 21 theorems. Pada tingkat pertama, jika jumlah dari komunikasi verbal mengurangi uncertainty dan dikuranginya Uncertainty menambah tingkat keakraban dari self-disclosure, kemudian ditambah komunikasi verbal dan menambah tingkat keakraban hubungan positif. Kamu dapat menghasilkan 20 teorema lainnya dengan menggabungkan axiom-axiom menggunakan formula deduktif. Dalam menambahkan, kamu membutuhkan untuk memakai prinsip dari multiplication dengan memperbanyak positif dan negatif. Sebagai contoh, jika dua variabel mempunyai hubungan positif dengan ketiganya, mereka diharapkan memiliki hubungan yang positiv juga dengan yang lainnya. Jika satu variabel mempunyai hubungan positif dengan ketiga padahal yang lainnya memiliki hubungan yang negatif dengan ketiganya, mereka akan memiliki hubungan negative kepada yang lainnya. Akhirnya, jika dua variabel masing-masingnya memilki hubungan negative dengan ketigannya, mereka akan memiliki hubungan positiv dengan yang lain. Proses ini memperbolehkan URT untuk menjadi Comprehensive Theory.
Expansions of Uncertainty Reduction Theory
Berger dan beberapa kerabatnya, melanjutkan untuk menyaring dan memperluaskan teori tersebut. URT telah diperluas dan dimodifikasi dalam area yang terbatas. Area-area tersebut meliputi penambahan axioms (sesuatu yang dapat dibuktikan kebenarannya tanpa pembuktian), kondisi yang sebenarnya, strategi-strategi, hubungan yang dibangun, dan konteks.
Additional Axioms
Berdasarkan pada penelitian yang lebih jauh lagi, Berger dan Gudykunst (1991) menambahkan axiom yang kedelapan, yang nantinya mendukung 7 teorema yang baru.
“Axiom ke-8: Uncertainty is negatively realated to interaction with social networks. The more people interact with the friends and family members of their relational partner, the less uncertainty they experienced.”
Penelitian menunjukkan bahwa axiom tersebut berdasarkan pada hubungan yang melebihi pada saat kita memasuki sebuah panggung; Berger dan Gudykunst kadang mempertimbangkan hubungan yang romantis.
James Neuliep dan Erica Grohskop (2000) mengusulkan axiom yang ke-9 berdasarkan pada pekerjaan mereka dalam mengkorelasikan uncertainty/ketidakpastian dan kepuasan dalam berkomunikasi.
“Axiom ke-9: There is an inverse, or negative, relationship between uncertainty and communication satisfaction.”
James Neuliep dan Erica mendefinisikan kepuasan dalam berkomunikasi sama seperti apa yang dikatakan oleh Hecht yaitu bahwa suatu respon yang dapat mempengaruhi prestasi komunikasi, adalah goals dan expectations (harapan). Setelah menggabungkan dua studi tersebut, Neuliep dan Grohskopf menemukan bahwa selama awal interaksi mempengaruhi, sebagai individu-individu yang mengurangi uncertainty (ketidakpastian), mereka mengalami kepuasan berkomunikasi yang lebih banyak daripada dalam situasi di mana ketidakpastian tetap tinggi. Neuliep dan Groshskopf mengamati ketidakpastian dengan suatu komunikasi outcome variable yang spesifik.
Antecedent Condition
Berger (1979) telah mengusulkan bahwa 3 antecedent (prior) conditions atau kondisi yang sebelumnya terjadi ketika adanya pengurangan uncertainty. Kondisi yang pertama terjadi ketika oranglain mempunyai potensial untuk memberi reward atau punishment. Antecedent condition yang kedua terjadi ketika orang lain berperilaku contrary (berlawanan) terhadap harapan. Sedangkan kondisi yang ketiga terjadi ketika seseorang mengharapkan untuk berinteraksi dengan orang lain di masa yang akan datang.
Stategies
Berger (1995) mengatakan bahwa orang-orang menggunakan 3 kategori strategis dalam mencoba mengurangi ketidakpastian, yaitu pasif, aktif, dan interaktif. Passive strategies yaitu mengurangi ketidakpastian dengan pengamatan yang rendah hati. Sedangkan active strategies terjadiketika seorang pengamat terikat dalam beberapa tipe dari usaha oranglain daripada berhubungan langsung dalam mencari informasi tentang orang lain. Yang terakhir, interactive strategies, terjadi ketika si pengamat dan orang lain terikat dalam hubungan langsung atau berinteraksi secara face-to-face. Percakapan tersebut ada kemungkinan mencakup self-disclosures, direct questioning, dan informasi yang lain.

Developed Realtionship: Beyond the Initial Encounter
Ketika Berger dan Calabrese meyakinkan teorimereka, mereka tertarik dalam mendeskripsikan awal perjumpaan seseorang dengan orang asing. Mereka telah membagi pandangan teori mereka dengan jelas dan sempit.
Ketidakpastian dalam membangun relationship mungkin berbeda dengan ketidakpastian dalam initial ecounters. Hal tersebut dapat berfungsi secara dialectical dalam suatu relationship, yaitu bahwa terdapat kemungkjinan menjadi suatu ketegangan dalammengurangi dan meningkatkan ketidakpastian dalam membangun relationship (Baxter dan Wilmot, 1985). Sementara pengurangan uncertainty dapat menjadi reward, kemampuan untuk memprediksi perilaku orang secara lengkap dapat emmbawa kebosanan (boredom). Boredom dalam suatu hubungan interpersonal mungkin lebih termasuk cost daripada reward.
Gerald R. Miller dan Mark Steinberg (1975) nencatat bahwa orang mempunyai keinginan besar terhadap ketidakpastian ketika mereka merasa aman daripada apa yang mereka lakukan ketika mereka merasa tidak aman.
Beberapa peneliti yang tertarik mengenai bagaimana URT digunakan untuk membangun relationship, mengusulkan bahwa adanya realitional uncertainty, yaitu hilangnya kepastian mengenai masa yang akan dating dan status suatu relationship. Relational uncertainty ditemukan untuk dibedakan dari individual uncertainty karena Realtional Uncertainty terjadi pada level yang lebih tinggi dari abstraction.
Marianne Dainton dan Brooks Aylor (2001) menjelaskan bagaimana relational uncertainty digunakan dalam tiga tipe relationship yang berbeda-beda, yaitu long-distance relationship tanpa interaksi face-to-face, long distance relationship dengan beberapa interaksi face-to-face, dan geographically close relationships. Para peneliti tertarik untuk melihat bagaimana relational uncertainty, jealousy, maintenance, dan trust interested berada dalam tiga tipe dari suatu hubungan. Para peneliti tersebut juga melakukan suatu investigasi bahwa 25-40% para mahasiswa menjalani romantic relationship dalam jarak jauh.
Context
URT lebih mengalami penambahan ke konteks yang lain. Sebagian besar dari hasil kerja telah diselesaikan dalam intercultural konteks. Berger (1987) menunjukkan bahwa uncertainty varies menyebrangi budaya, dan beberapa penelitian memberi gambaran cultural applicability dari URT.
Gudykunst dan Tsukasa Nishida (1986a) menemukan perbedaan dalam low-context cultures dan high-context cultures. Berdasarkan Edward T. Hall (1977), low-context merupakan budaya, seperti yang terdapat di US, Jerman, dan Swiss, di mana sebagian besar pemaknaan berada dalam kode atau pesan. Sedangkan high-context cultures merupakan budaya-budaya, seperti yang terdapat di Jepang, Korea, dan China, di mana pemaknaan berasal dari suatu pesan yang berada dalam konteks atau internalized dalam listeners.
Dengan memperhatikan penelitian low- dan high-context cultures, Gudykunst dan Nishida menemukan frekuensi komunikasi dapat memprediksikan pengurangan uncertainty dalam low-context cultures tetapi tidak dalam high-context cultures. Para peneliti juga menemukan bahwa orang menggunakan komunikasi langsung (dengan bertanya) untuk mengurangi ketidakpastian dalam individualistic cultures. Dalam collectivistic cultures, komunikasi tidak langsung lebih banyak digunakan dengan individu yang tidak diidentifikasikan sebagai anggota dari cultural in group. Bedasarkan teori, kemudian orang yang berasal dari budaya yang berbeda tersebut terikat dalam jenis komunikasi yang berbeda pula guna mengurangi ketidakpastian mereka.
Suatu konsep yang sama seperti pengurangan ketidakpastian yaitu uncertainty avoidance, yang mana merupakan suatu usaha untuk menghindari/mencegah situasi yang ambigu. Dengan kata lain, uncertainty avoidance digunakan untuk toleransi seseorang demi ketidakpastian. Geert Hofstede percaya bahwa ap ayang menjadi prespektif dari orang-orang yang baerada dalam high uncertainty cultures adalah, “perbedaan merupakan suatu bahaya”, jadi perbedaan itu dianggap sebagai sesuatau yang membahayakan dan perlu dihindari., sedangkan orang-orang yang berada dalam low-uncertainty avoidance cultures mengatakan bahwa perbedaan itu justru menambah rasa keingintahuan kita; perbedaan dijadikan untuk menambah ilmu pengetahuan. Gudykunst dan Yuko Matsumoto menunjuk bahwa perbedaan-perbedaan yang ada dalam setiap budaya dapat membantu kita untuk memahami perilaku negara-negara lain dalam berkomunikasi.
    Evaluasi Teori
Setelah menyelesaikan teori dari publikasi, Berger (1987) menjelaskan bahwa Uncertainty Reduction, yang berisi beberapa usul dan saran daei kebenaran yang meragukan. Para penulis yang lain juga berpedapat yang sama. Walaupun URT telah mendorongperjainjian yang besar dari diskusi dan penyelidikan, ini juga telah dikupas tuntas. Pada dasarnya, kritik ini mencari kekurangan sekaligus pengaruhnya dari kegunaan teori tersebut.
Utility
Beberapa sumber percaya bahwa asumsi teori dari mata kuliah ini ada yang salah. Michael Sunnafrank (1986) berpendapat bahwa terjadi ketidaktentuan yang menurun terhadap diri seseorang dan juga orang lain pada saat pertama kali bertemu, akan tetapi hal tersebut tidak terlalu menjadi hal yang pokok bagi seseorang. Namun Sunnafrank berpendapat bahwa banyak terdapat tujuan yang yang maksimal justru dari orang yang diusir dari masyarakat ataupun dari keluarga sendiri.
Sunnafrank menyebut pada “reformulation” dari URT tersebut mengambil info yang menganggap berbagai sesuatau yang penting sudah diramalkan pada waktu pertama kali berinteraksi. Dari hal tersebut kita menjadi tahu teori tersebut sebagai Predicted Outcome Value (POV).
Untuk menggambarkan pada awal di bab ini, Sunnafrank berpendapat bahwa Malcolm akan menjadi lebih khawatir dengan memberi reward yang lebih di dalam kesanggupan dalam hubungan bersama Edi dibanding memikirkan apa yang sedang dilakukan oleh perempuan tersebut dan mengapa perempuan itu melakukan hal tersebut.
Sebenarnya, Sunnafrank menebak bahwa URT mungkin akan terjadi sesudah Malcolm memutuskan dari hasil apa yang telah diprediksikan dari pembicaraan dengan Edi. Berge (1986) menanggapi Sunnafrank bahwa sebuah hasil tidak dapat diprediksikan tanpa adanya pengetahuan dan ketidaktentuan yang diturunkan pada diri seseorang, satu pasangan, dan dalam sebuah hubungan. Ini adalah anggapan dari Berger bahwa pengurangan yang tidak tentu tersebut dari kemandirian yang seperlunya untuk diprediksikan. Nyatanya dia percaya bahwa jika tetap memiliki rasa ragu- ragu yang tinggi, itu akan tidak ada prediksi untuk hasil terakhir.
Jadi Berger menyimpulkan bahwa Sunnafrank memiliki jangkauan yang luas dari ORT daripada sumbangan yang alternative. Bidang yang kedua dari kritik URT yang telah dilakukan dngan kebenaran. Penarikan kembali bahwa terdapat beberapa masalah kebenaran, namun dia belum mau untuk menyerah pada teori tersebut.
Kathy kellermann dan Rodney Reynolds (1990) point pada axiom ke tiga, yang menyarankan bahwa penyebab ketidaktentuan informasi pada tingkat yang tinggi tersebut, yang melihat tingkah laku sebagai masalah. Kellerman dan Reynolds menjelaskan bahwa banyak waktu yang mungkin kita menjadi ragu- ragu tentang hal lain tetapi karena kita tidak tertarik pada hal yang lain, kita tidak memotivasi untuk mengurangi informasi dari segi penglihatan.
Heorism, Parsimony, Logika, Cosistency and Test of Time
Di samping kelemahannya, Uncertainty reduction theory tetap hanya sebagai teori komunikasi yang khususnya menguji interaksi awal. Selanjutnya, refleksi di dalam criteria, kita mengevaluasi teori dari bab tiga. Pertama : Teori ini sangat bermaksud menyelidiki sendiri. Contoh URT ini telah mengintregasi pencarian ke dalam penyelidikan di dalam kelompok kecil. ( Booth, butterfield dan Koester, 1988 ) seperti yang diselidiki di dalam komunikasi massa ( Dimmick, Sikand dan Pattersun,1994) dan komunikasi media computer (Walther dan Burgoon 1992).
Akhirnya, URT seperti teori pemikiran, dapat dipertimbangkan menjadi sementara di dalam teori yang asli, dan disana menjadi gagasan relevant yang lain.

Daftar Pustaka
West, Richard and Turner, Lynn H. Introducing Communication Theory. Analysis and Application. 2007. Singapore: McGraw Hill.